Nama Ki Hajar Dewantara berkaitan erat dengan sejarah dan pendidikan di Indonesia. Masyarakat Indonesia tentu sudah familiar dengan nama yang satu ini. Pendiri Sekolah Taman Siswa ini lahir pada tahun 1889 di Kampung Suerjadiningratan, Pakualaman, Yogyakarta. Dia meninggal di kota yang sama pada tahun 1959. Kali ini, Ruang Penggerak akan membahas kisahnya dalam artikel berikut.
Pada mulanya, Ki Hajar Dewantara mempunyai nama lengkap Raden Mas Soewardi Suryaningrat. Namun, belakangan dia memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara tanpa tambahan gelar bangsawan. Nama Ki Hajar Dewantara lebih dikenal daripada nama awalnya. Di lingkungan keluarga, dia lebih akrab disapa dengan julukan Denmas Jemblung.
Julukan Jemblung diberikan oleh ayahnya sendiri. Ki Hajar Dewantara berasal dari keluarga bangsawan. Dia lahir dari pasangan Raden Ayu Sandiah dan Pangeran Ario Suryaningrat. Dia merupakan cucu dari Sri Paku Alam III.
Berkat jasanya di bidang pendidikan, dia mendapatkan gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan Pelopor Pendidikan Indonesia. Bersama dengan Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker, mereka memperoleh julukan Tiga Serangkai. Mari simak kisah Ki Hajar Dewantara mulai dari pendidikan yang ditempuhnya hingga semboyan terkenalnya dalam artikel ini.
Daftar Isi
ToggleTidak Lulus Stovia Karena Sakit
Ki Hajar Dewantara bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), yaitu sekolah dasar yang diperuntukkan untuk anak-anak yang berasal dari Eropa. Sekolah ini terletak di Kampung Bintaran. Letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di ELS, ayahnya ingin agar dia lanjut ke OSVIA, Weltevreden. Namun, dia ingin lanjut sekolah ke Kweekschool yang merupakan sekolah untuk calon guru. Dia tidak menyelesaikan pendidikannya di Kweekschool karena terhambat masalah biaya.
Setelah bertemu dengan dr. Wahidin Soedirohusodo, dia meninggalkan Kweekschool dan melanjutkan pendidikan dokter dengan beasiswa di School tot Opleiding van Indische Artsen (Stovia) atau yang disebut Sekolah Dokter Jawa. Sekolah ini terletak di Batavia.
Namun, karena mengalami sakit selama empat bulan akibat aktivitasnya yang cukup padat, dia tidak bisa menyelesaikan pendidikan dokternya. Karena sering sakit, akhirnya dia sering tidak masuk sekolah dan beasiswanya harus dicabut.
Meski harus meninggalkan Stovia, tidak ada penyesalan bagi dirinya. Kemudian, Ki Hajar Dewantara menerima tawaran pekerjaan sebagai ahli kimia di Laboratorium Pabrik Gula yang terletak di Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah.
Setahun setelahnya, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya dan bekerja di apotek. Di tempat bekerjanya, dia mencoba meramu obat-obatan namun mengalami kegagalan. Namun, belum lama bekerja di apotek ini, dia terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Karena tertarik dengan dunia jurnalistik, waktunya banyak dihabiskan untuk berkontribusi di berbagai surat kabar daerah, termasuk De Express. Hal ini ditandai dengan pengiriman artikel yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara secara konsisten kepada surat kabar tersebut.
Baca kisah lainnya:
- Sederet Prestasi Belva Devara yang Menarik dan Menginspirasi
- Kisah Inspiratif: Angga Fauzan, Perjalanan dari Kandang Kambing
- Kisah Inspiratif : Jokowi, Dari Tukang Kayu Jadi Orang Nomor Satu
- Kisah Inspiratif: Sudono Salim, Penemu Indomie yang Mendunia
Sempat Aktif Sebagai Wartawan dan Penulis
Ki Hajar Dewantara sempat aktif menjadi wartawan di beberapa surat kabar dan penulis. Setelah berhenti kerja dari apotek, dia bekerja sebagai jurnalis De Express. Untuk melakukan pekerjaan ini, dia harus pindah dari Yogyakarta ke Bandung.
Dia dikenal sebagai penulis yang andal dan mahir dengan gaya bahasa yang komunikatif. Dia pernah menulis untuk surat kabar Sedyotomo, De Express, Midden Java, Tjahaja Timoer, dan sebagainya. Selain itu, dia juga mendirikan kantor berita Indonesia yang diberi nama Indonesisch Pers-bureau (Biro Pers Indonesia). Kantornya berada di Fahrenheitstraat No.473, Den Haag. Untuk mendanai pendirian kantor ini, dia meminjam uang dari H. Van Kol.
Sempat Menjalani Hidup yang Serba Kekurangan
Bersama dengan istrinya, Sutartinah Sasraningrat, Ki Hajar Dewantara harus pergi ke Belanda pada tahun 1913. Di Belanda, dia harus menjalani kehidupan yang serba kekurangan. Dua tahun setelahnya, dia mengikuti kursus dan berhasil memperoleh Akte Guru Eropa.
Sedangkan, istrinya mengajar di Frobel School. Frobel School merupakan Taman Kanak-Kanak yang terletak di Weimar, Den Haag. Dia beserta istri dan kedua putranya kembali ke Jakarta pada tahun 1919. Kemudian, dia pergi ke Bandung dan memimpin berbagai majalah, salah satunya adalah De Express.
Mendirikan Taman Siswa
Ki Hajar Dewantara sempat bergabung sebagai guru di Sekolah Adhidharma. Sekolah ini didirikan oleh kakaknya sendiri yang bernama Raden Mas Soerjopranoto. Kemudian, berbekal pengalaman mengajarnya, dia memiliki ide untuk mendirikan sekolah sendiri.
Akhirnya, dia membantu orang-orang pribumi memperoleh pendidikan dengan mendirikan sekolah yang diberi nama Taman Siswa. Sekolah ini didirikan pada tahun 1922 di Jalan Tanjung, Pakualaman, Yogyakarta. Pendirian sekolah ini mendapatkan banyak respon positif dari masyarakat.
Taman Siswa adalah sekolah formal pertama yang dibangun untuk warga pribumi. Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah ini dengan harapan dapat menyediakan pendidikan secara merata kepada semua kalangan. Dia membangun konsep mengajarnya sendiri.
Sekolah ini menerapkan sistem yang mendidik muridnya menjadi sosok yang mandiri. Selain memberikan pengetahuan, guru juga membantu siswa menjadi cakap dalam mencari pengetahuan dan menggunakannya untuk memperoleh manfaat.
Dalam penerapannya, menurut Buku Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya, Taman Siswa tidak ikut campur dalam urusan politik. Sekolah tidak mengizinkan adanya urusan politik. Lewat aturan ini, Taman Siswa berupaya untuk menjaga jarak dengan politik.
Taman Siswa menyebut dirinya sebagai Perguruan atau Paguron yang berarti pusat belajar dan rumah guru. Jadi, Taman Siswa dibentuk dengan tujuan memberikan akses pendidikan kepada mereka yang belum bisa mengenyam pendidikan di sekolah biasa kala itu. Saat ini, Taman Siswa dipakai untuk nama sekolah dan universitas di Indonesia.
Baca juga: 30 Quotes Gus Baha Tentang Syukur yang Menginspirasi
Mencetuskan Semboyan Pendidikan Indonesia
Salah satu semboyan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (di depan memberikan contoh, di tengah membangun cita-cita, mengikuti dan mendukungnya).
Apakah Anda pernah mendengar semboyan ini ketika masih duduk di bangku sekolah? Semboyan ini biasanya dipelajari ketika Anda belajar tentang sejarah. Semboyan tersebut mengandung makna bahwa seorang guru harus membimbing muridnya namun harus tetap memberikan kesempatan bagi muridnya untuk menentukan pilihannya sendiri.
Guru di Taman Siswa menerapkan Tut Wuri Handayani, yaitu mengikuti dan mempengaruhi murid untuk berkembang ke arah yang baik. Sistem ini memungkinkan murid-murid untuk mengembangkan dan mengasah bakatnya.
Itulah kisah dan biografi Ki Hajar Dewantara. Dia berkontribusi dalam dunia pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa. Dia juga berkontribusi dalam dunia literasi dengan menulis dan mendirikan kantor berita di Indonesia. Atas jasanya di bidang pendidikan, dia mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Gajah Mada.
Apakah Anda memiliki pertanyaan, opini, atau saran yang ingin disampaikan? Jika ada, silahkan tulis di kolom komentar yang tersedia. Klik tombol share untuk membagikan kisah ini kepada teman-teman Anda.
1 komentar untuk “Kisah Inspiratif: Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia”
Pingback: 15 Quotes Ki Hajar Dewantara, Pelopor Pendidikan di Indonesia